Oleh:
Ketua Forum Pemerhati Ekonomi Sosial Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Forpesbang), Hikmar
KABARSULTRA.ID, Konawe Utara dikenal sebagai salah satu lumbung nikel di Sulawesi Tenggara. Namun, di balik potensi sumber daya yang melimpah, bumi Anoa ini juga menyimpan luka mendalam akibat praktik pertambangan ilegal dan penyalahgunaan izin. Hutan gundul, aliran sungai tercemar, hingga laut yang keruh telah menjadi potret nyata dari kerakusan yang dibiarkan terlalu lama.
Ombudsman RI bahkan pernah menyoroti dugaan maladministrasi dalam pengelolaan tambang di Bumi Anoa Konawe Utara tersebut. Temuan itu menegaskan bahwa bukan hanya perusahaan yang bermain, tetapi juga ada celah pengawasan dan tata kelola yang lemah. Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba sudah memberi landasan tegas untuk mencabut izin dan menindak pelanggaran.
Reformasi total pertambangan ilegal di Konawe Utara bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak.
Kerusakan Ekologis
Ratusan hektar hutan dan wilayah pesisir rusak akibat eksploitasi tanpa standar lingkungan. Ini bukan hanya merusak habitat satwa endemik Sultra, tapi juga menghancurkan benteng alami masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, Reformasi Total harus diwujudkan melalui tiga langkah strategis:
Penegakan Hukum Tegas: cabut IUP bermasalah, usut mafia tambang, dan proses hukum hingga tuntas. Tidak boleh ada kompromi bagi perusak lingkungan dan perambah kawasan hutan.
Pemulihan Lingkungan: wajibkan perusahaan yang terbukti melanggar untuk membayar ganti rugi dan merehabilitasi lahan.
Melibatkan Masyarakat : beri ruang bagi masyarakat, organisasi usaha UMKM dan jasa pertambangan lokal, tokoh adat, tokoh masyarakat, aktivis nelayan, hingga petani untuk ikut mengawasi serta menentukan arah kebijakan tambang demi kemanfaatan serta keberlanjutan ekonomi rakyat lingkar tambang.
Bumi Anoa tidak boleh terus menjadi ladang perampokan sumber daya. Reformasi total pertambangan di Konawe Utara adalah pintu menuju kedaulatan sumber daya yang adil, lestari, dan mensejahterakan rakyat lokal.
Kini, yang ditunggu hanyalah keberanian pemerintah daerah maupun pusat untuk membuktikan: apakah hukum benar-benar berdiri tegak, atau justru tunduk di bawah bayang-bayang oligarki.