KABARSULTRA.ID, KONAWE UTARA – Koalisi Rakyat Konawe Utara Untuk Keadilan Tambang menegaskan bahwa pengakuan tanah adat, hutan adat, maupun wilayah adat di Indonesia tidak bisa dilakukan secara sepihak. Klaim simbolik tanpa dasar hukum dianggap hanya bersifat moral dan tidak memiliki kekuatan eksekusi.
Ketua Koalisi, Hendrik, menjelaskan bahwa Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 memang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. Namun pengakuan itu tidak otomatis berlaku, melainkan harus melalui mekanisme resmi berupa verifikasi, validasi, dan penetapan formal lewat SK Bupati atau Peraturan Daerah.
“Kalau hanya klaim sepihak, tidak punya legitimasi yuridis. Negara sudah menyiapkan mekanisme, mulai dari Permen ATR/BPN No. 10/2016 soal hak komunal hingga UU Kehutanan yang dipertegas Putusan MK No. 35/2012. Semua harus melalui jalur resmi,” tegas Hendrik, Kamis (11/9/2025).
Hendrik menambahkan, pengakuan adat juga diatur dalam Permendagri No. 52/2014 yang mewajibkan adanya tim ahli independen untuk menguji apakah masyarakat hukum adat benar-benar masih hidup. Menurutnya, tanpa pengakuan formal, isu adat rawan dipelintir menjadi komoditas politik.
“Kalau adat tidak ditempatkan dalam kerangka hukum, ia bisa dijadikan alat tawar-menawar segelintir elite. Justru dengan prosedur resmi, adat lebih dihormati dan terlindungi,” ungkapnya.
Koalisi juga mengingatkan falsafah luhur Tolaki: “Inae Kona Sara – Iyee Pinesara, Inae Lia Sara – Iyee Pinekasara” (siapa menghormati adat, akan dihormati; siapa melanggar adat, akan dikenai sanksi). Namun Hendrik menekankan falsafah itu tidak boleh dipakai untuk kepentingan sempit.
“Adat harus dijaga marwahnya, bukan dijadikan senjata untuk menekan perusahaan atau pemerintah demi kepentingan pribadi. Kalau adat dijadikan alat politik, yang rusak bukan hanya keadilan, tetapi juga kehormatan tradisi,” ujarnya.
Koalisi menilai fenomena di lapangan menunjukkan isu adat sering dipakai untuk menolak tambang atau menekan negosiasi ekonomi. Praktik ini, kata Hendrik, berbahaya karena mencederai nilai luhur adat dan memecah belah masyarakat.
“Adat sejati melindungi tanah, laut, dan generasi. Bukan menjadi jalan pintas untuk segelintir orang,” tegas Hendrik.
Karena itu, Koalisi mendukung penuh masyarakat adat yang sah secara hukum, sekaligus menolak manipulasi adat. Mereka menyerukan agar semua pihak kembali pada prinsip konstitusi dan falsafah adat murni demi mencegah konflik berkepanjangan.
“Keadilan tambang tidak boleh menyingkirkan masyarakat adat yang sah, tetapi juga tidak boleh membiarkan manipulasi adat merusak tatanan hukum. Kami akan terus berdiri di garis depan, meski risiko kriminalisasi selalu ada,” pungkas Hendrik. (Red)