KABARSULTRA.ID, KENDARI – Industri tambang di Kabupaten Konawe Utara (Konut) kian menggaung, setelah data resmi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara (Sultra) merilis 33 perusahaan tambang di daerah ini telah mengantongi persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025 dari Kementerian ESDM.
Dari jumlah tersebut, 28 perusahaan tercatat memiliki kuota produksi aktif dengan total mencapai 39,6 juta metrik ton (MT), sementara lima lainnya tidak mendapat kuota.
Kuota produksi terbesar dimiliki PT Tiran Indonesia dengan jatah 10 juta MT, disusul PT Makmur Lestari Primatama (2,9 juta MT), PT Tataran Media Sarana (2,64 juta MT), PT Adhi Kartiko Pratama (2,5 juta MT), serta PT Bumi Sentosa Jaya (2,11 juta MT). Angka-angka tersebut menegaskan betapa besarnya potensi ekonomi nikel di Konawe Utara, yang nilainya ditaksir mencapai triliunan rupiah.
Namun, dibalik besarnya kuota tersebut, suara kritis juga bergema. Hendrik, aktivis sosial sekaligus Koordinator Koalisi Rakyat Konawe Utara untuk Keadilan Tambang, mengingatkan bahwa setiap ton bijih nikel yang diangkut bukan sekadar angka, melainkan kekayaan rakyat yang harus kembali pada masyarakat.
“Negara memang memberi izin dan kuota. Tapi negara juga memerintahkan perusahaan untuk memberdayakan UMKM, kontraktor, dan tenaga kerja lokal. Kalau ini diabaikan, sama saja menampar harga diri rakyat,” tegas Hendrik dengan nada penuh penekanan.
Koalisi menilai kewajiban perusahaan sudah diatur jelas dalam sejumlah regulasi, mulai dari Pasal 124 UU No. 3/2020 tentang Minerba, Pasal 151 UU No. 2/2025 yang mengatur sanksi administratif, hingga Permen Investasi/BKPM No. 1/2022 tentang tata cara kemitraan usaha besar dengan UMKM.
“Aturan ini bukan anjuran, tapi perintah hukum yang mengikat,” imbuh Hendrik.
Sayangnya, hingga pertengahan 2025, mayoritas perusahaan pemegang RKAB di Konawe Utara belum menandatangani komitmen dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra.
Kondisi ini dikhawatirkan melahirkan ketidakadilan ekonomi, proyek jasa pertambangan dikuasai pihak luar, tenaga kerja lokal tersingkir, dan UMKM setempat tidak mendapat kesempatan.
“Kuota besar harus berbanding lurus dengan manfaat besar. Minimal 30 persen nilai kontrak harus disalurkan ke pelaku usaha lokal. Ini bukan belas kasihan, tapi amanat undang-undang,” tegasnya lagi.
Untuk itu, Koalisi berencana melayangkan surat resmi kepada seluruh perusahaan pemegang RKAB, menuntut penandatanganan MoU Pemberdayaan Lokal.
Mereka juga akan mengeluarkan Skor Kepatuhan Perusahaan secara berkala, yang menilai realisasi kemitraan lokal, penyerapan tenaga kerja daerah, kontribusi CSR berbasis desa, hingga progres reklamasi tambang.
Peringatan juga ditujukan kepada pemerintah daerah dan pusat. Koalisi meminta agar sanksi tegas tidak ragu dijalankan—mulai dari evaluasi kuota, pengurangan jatah produksi, hingga pencabutan RKAB.
Dengan langkah advokasi ini, Koalisi berharap setiap kuota produksi yang dikantongi perusahaan bukan hanya menjadi tiket eksploitasi, melainkan mandat untuk menggerakkan denyut ekonomi rakyat Konut.
“Saya berkomitmen memperjuangkan hak rakyat lewat cara-cara sah dan konstitusional. Perusahaan harus paham, tanah ini milik rakyat. Mereka wajib mematuhi aturan yang berlaku,” pungkas Hendrik. (Red)