KABARSULTRA.ID, KONAWE UTARA – Warga Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut), memprotes kebijakan Pemerintah Desa (Pemdes) Mandiodo yang menghentikan belasan kepala keluarga (KK) sebagai penerima kompensasi dari perusahaan pertambangan.
Selain itu, Pemdes Mandiodo turut memberhentikan tim pengurus dana kompensasi tanpa dasar yang jelas. Padahal, tim kompensasi yang dibentuk sebelumnya merupakan wujud kesepakatan warga.
Salah satu warga Desa Mandiodo, Siti Ulfa, kepada awak media, Jumat (22/9/2023), mengungkapkan bahwa dana kompensasi dibentuk melalui pemilihan, disetujui seluruh warga.
“Tetapi pada saat rapat, kepala desa yang baru menyatakan mengambil ahli kepengurusan dana kompensasi dan memberhentikan kepengurusan yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara,” ujarnya.
Ulfa mengungkapkan keganjilan yang dilaksanakan oleh Pemdes Mandiodo yang baru terbentuk. Aparat desa pun yang mempertanyakan dana kompensasi masyarakat di WA grup, dikeluarkan dan diberhentikan sebagai aparat.
“Saya kan juga bagian dari pengurus kompensasi masyarakat dengan jabatan sebagai bendahara. Waktu rapat sempat saya pertanyakan pada pak desa. Karena setiap dana dari perusahaan saya sudah tidak difungsikan, sementara sebelumnya saya yang mengurus itu dana. Kesalahan saya dimana,” kesal Siti Ulfa.
Dana kompensasi yang diterima oleh warga sangat berpariatif setiap bulannya. Tergantung jumlah tonase yang dikeluarkan dari perusahaan setiap “closing”.
Bagian kompensasi masyarakat yang disepakati sebesar Rp1000 permetrikton, sehingga warga mendapatkan kompensasi berkisar satu sampai dua juta perkepala keluarga. Lebih spesifik kata Ilfa, tergantung jumlah material muatan tongkang.
“Sebelumnya saya masih pengurus yang diterimakan dari perusahaan hampir Rp 400 juta perbulan, kadang juga Rp 300 juta bahkan sampai Rp 500 juta. Itulah dana yang dibagikan pada masyarakat sebanyak 240 lebih kepala keluarga,” katanya.
Saat Pemdes Mandiodo mengambil ahli kompensasi warga, penyaluran pada Agustus 2023, terjadi pemotongan sebesar Rp 15 persen dari total Rp 400 juta lebih yang terkumpul, sehingga yang diterima per KK hanya sekira Rp900.000 saja.
“Waktu rapat sempat saya protes, jangan ada pemotongan, tapi itu tidak diindahkan. Untuk penerima kompensasi ada 13 orang dihentikan dengan alasan tidak bertempat tinggal di Mandiodo,” ujarnya.
Warga lainnya, Asrin juga mengeluhkan kebijakan Pemdes Mandiodo. Setelah terjadi peralihan kepemimpinan pada Pemdes Mandiodo yang baru. Kepengurusan kompensasi yang sebelumnya dibentuk pada era kepemimpinan Slamet, terpaksa diambil ahli oleh Pemdes Mandiodo.
“Dulukan pak Alias, pernah pegang hampir 1 tahun. Baru dilakulan lagi pemilihan, terpilihlah tiga orang pengurusnya. Tetapi pasca pak Alias jadi kepala desa, dana kompensasi diambil ahli atas nama Pemdes Mandiodo,” katanya.
Asrin pun bingung, lantaran dulunya saat Slamet menjadi Kades Mandiodo, Alias memberikan kritik agar masyarakat memegang dana kompensasi perusahaan tambang, namun setelah Alias jadi Kades, justru diambil alih.
Sementara itu, Kades Mandiodo, Alias Manang, membenarkan adanya warga Mandiodo yang dihentikan dana kompensasinya, tetapi berdasarkan hasil kesepakatan musyarawah antara Pemdes dan warga Mandiodo.
“Warga tersebut tidak tinggal di Mandiodo, hanya memang masuk warga Mandiodo. Mereka tinggalnya di Kendari. Pertimbangannya, kita yang hancur-hancuran disini, kok sama nilainya, kan begitu. Itu juga sudah didudukkan dan dimusyawarakan, bukan keputusan kepala desa,” ujarnya.
Terkait dengan pemerintahan sebelumnya, Slamet. Dana kompensasi diklaim sempat salah sasaran. Makanya, dipihak ketigakan pada masyarakat pengelolaannya, karena sebelumnya dana kompensasi yang diterima warga kadang Rp400.000 hingga Rp700.000 per KK.
“Itukan pernah berpindah kesaya pengelolaanya. Bahkan masyarakat sudah menerima diatas 1 juta hingga 2 juta rupiah perbulan. Kita menjalankan sudah sesuai dengan harapan masyarakat,” ujarnya.
Alias buka-bukaan ihwal pengambilalihan dana kompensasi oleh Pemdes. Sebab, ia mengidentifikasi ada sebagian orang Mandiodo yang memiliki kemampuan finansial meminjamkan pada warga, dengan syarat, dipinjamkan Rp400.000 kembali menjadi Rp600.000.
“Bukan pembodohankah seperti itu. Makanya saya tidak mau seperti itu. Kemudian, dana kompensasi sebelum sampai di masyarakat sudah terpotong dijalan. Persoalan utang, itu belakangan, yang penting haknya dulu diberikan, nanti berurusan sama peminjam,” tutupnya. (Red)